BAB
I
PENDAHULUAN
Tasawuf atau dalam ilmu pengetahuan atau lebih dikenal dengan sufisme,
adalah suatu istilah yang lazim dipergunakan untuk mistikisme dalam islam,
sebenarnya, suluk merupakan suatu isltilah khusus dalam konteks yang lebih
luas, yaitu mistikisme nusantara. Tujuan pokoknya tetap sama, yakni memperoleh
hubungan langsung dengan Tuhan.
Walaupun apa yang diuraikan tantang pengertian tentang tasawuf cukup
gamblang, namun masih banyak kalangan umat islam yang masih meragukan bahwa
tasawuf tidak bersumber dari ajaran agama islam. Padahal sebenarnya tasawuf
adalah pokok-pokok ajaran dari Nabi Muhammad saw yang diduskusikan dengan para
sahabat Nabi tentang apa-apa yang diperolehnya dari malaikat Jibril berkenaan
dengan pokok-pokok ajaran islam, yakni islam, iman dan ihsan. Ketiga sendi
pokok ini diimplementasikan dalam pelaksanaan tasawuf sebagaimana diriwayatkan
perawi Hadits Imam Bukhari dan Muslim.
Dasar-dasar tasawuf telah ada sejak datangnya agama Islam, hal ini dapat
diketahui dari kehidupan Rasulullah Saw. cara hidup beliau yang kemudian
diteladani dan diikuti oleh para sahabat. Selama periode Makah, kesadaran
spiritual Rasulullah Saw. adalah berdasarkan atas pengalaman-pengalaman mistik
yang jelas dan pasti, sebagaimana dilukiskan dalam Alquran surat An-Najm:
11-13; Surat At-Takwir: 22-23. Kemudian ayat-ayat yang menyangkut aspek
moralitas dan asketisme, sebagai salah satu masalah prinsipil dalam tasawuf,
para sufi merujuk kepada Alquran sebagai landasan utama. Karena manusia
mempunyai kecenderungan sifat baik dan sifat jahat, sebagaimana yang
dinyatakan. “Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketaqwaan,” maka harus dilakukan pengikisan terhadap sifat yang jelek dan
pengembangan sifat-sifat baik, “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu”.
|
BAB
II
KONSEP
DASAR ILMU TASAWUF
A.
Pengertian tasawuf.
1.
Pengertian tasawuf secara lughowi (bahasa).
Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (Bahasa Arab:تصوف ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa,
menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian
yang abadi.[1]
Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yagn dihubung-hubungkan
para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Harun Nasution, menyebutkan lima
istilah yang berkenaan dengan tasawuf, yaitu: al-Shuffah (orang
yang tinggal di serambi masjid nabi) , shaf (barisan), sufi (suci),
sophos (bahasa yunani: hikmat), dan suf (kain wol).[2]
Arti tasawuf secara lughowi
(etimologi) diperselisihkan oleh para ahli. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan
mereka dalam memandang asal-usul kata itu. Asal usul kata tasawuf menurut
mereka antara lain:
a.
Tasawuf berasal dari
kata “shuf” yang berarti wol kasar, karena orang-orang sufi selalu
memakai pakaian tersebut sebagai lambang kesederhanaan.[3]
b.
Tasawuf berasal dari
akar kata “shafa’ ”, yang berarti bersih. Disebut sufi karena hatinya
tulus dan bersih di hadapan Tuhannya. Tujuan sufi adalah membersihkan batin
melalui latihan-latihan yang lama dan ketat.
c.
|
d.
Tasawuf berasal dari
kata “sopohos”, berasal dari bahasa Yunani yang berarti hikmah. Mereka
berusaha mensucikan jiwa untuk mendekati Tuhan. Mereka berpandangan bahwa Allah
Maha Suci, hanya yang suci yang bisa berhubungan dengan Allah.
e.
Tasawuf berasal dari
kata “shaf”, yang dinisbahkan kepada orang-orang yang ketika sholat
selalu berada di shaf yang paling depan dengan alasan oprang yang sholat di
shaf pertama mendapat kemuliaan dan pahala dari Allah SWT.[5]
f.
Tasawuf berkaitan dengan kata (Ash- Sifatu),
karena para sufi sangat mementingkan sifat-sifat terpuji dan berusaha keras
meninggalkan sifat-sifat tercela.
g.
Tasawuf berasal dari
kata “Shaufanah”, yaitu sebangsa buah-buahan kecil yang berbulu-bulu dan
banyak tumbuh di padang pasir di tanah Arab, dimana pakaian sufi itu
berbulu-bulu seperti buah itu pula, dalam kesederhanaannya.[6]
2.
Pengertian tasawuf secara istilah.
Adapun tentang definisi tasawuf secara
istilah ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh sejumlah tokoh sufi, sesuai
dengan pengamalan spiritual dan pengamatan masing-masing, beberapa diantaranya
adalah sebagai berikut:
a)
Abu Husein An-Nuri. Berpendapat
sufi adalah kelompok kaum yang memiliki hati bersih dari segala keburukan yang
dibuat manusia dan bersih dari penyakit batin serta bebas dari segala bentuk
syahwat sehingga mereka berada dibarisan pertama dan mendapatkan derajat yang
tinggi serta kebenaran.
b)
Al-Junaid Al-Baghdadi,
tokoh sufi modern mengatakan bahwa, tasawuf ialah membersihkan diri hati dari
sifat yang menyamai binatang dan melepaskan akhlak yang fitri, menekankan sifat
basyariah atau kemanusiaan, menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat bagi sifat-sifat
kerohanian, berpegang pada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama
atas dasar keabadiannya, memberi nasihat kepada umat, benar-benar menepati
janji kepada Allah SWT, dan mengikuti syariah Rasulullah saw.
c)
Dzun Al-Misri. Berpendapat
bahwa sufi adalah orang yang tidak menyusahkan bagi dirinya dari segala
permintaannya, juga tidak menyusahkan dirinya dari ketiadaan.
d)
Al-Kanani. Berpendapat
tasawuf adalah akhlak, maka barang siapa yang bertambah akhlaknya, bertambah
pula kesuciannya.
e)
Sahal bin Abdillah.
Berpendapat Bahwa tasawuf adalah menyedikitkan makan, sungguh-sungguh beribadah
kepada Allah dan lari dari manusia.[7]
f)
Bisri bin Haris
mengatakan bahwa, sufi ialah orang yang suci hatinya menghadap Allah SWT.
g)
Sahl al-Tustari mengatakan bahwa sufi ialah orang yang
bersih dari kekeruhan. Penuh dengan renungan, putus hubungan dengan manusia
dalam menghadap Allah SWT dan baginya tidak ada beda antara harga emas dan
pasir.
h)
Abu Qasyim Abdul Karim Al-Qusyairi memberikan definisi
bahwa tasawuf ialah menjabarkan ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Sunnah, berjuang
mengendalikan nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan syahwat, dan
menghindarkan dari sifat meringankan ibadah.
i)
Ma’ruf Al-Karkhi
mengatakan bahwa tasawuf ialah mengambil hakikat dan tidak tamak dari apa yang
ada dalam genggaman tangan makhluk.
Dari beberapa definisi tersebut, Zakaria Al-Ansari penulis tasawuf
(852-925H) mencoba meringkasnya sebagai berikut: “Tasawuf mengajarkan cara
untuk menyucikan diri, meningkatkan akhlak, dan membangun kehidupan jasmani dan
rohani untuk mencapai kebahagiaan abadi. Unsur utama tasawuf adalah mensucikan
diri dan tujuan akhirnya adalah kebahagiaan dan keselamatan abadi”.
Jadi dengan kata lain tasawuf adalah suatu cabang ilmu dalam islam yang
menekankan dimensi atau aspek spiritual dari islam. Spiritualitas ini mengambil
bentuk yang beraneka di dalamnya. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih
menekankan pada kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia serta lebih
menekankan penafsiran batini ketimbang penafsiran lahiriah.[8]
B.
Ciri-ciri umum tasawuf.
Menurut
Abu Al-Wafa’ Al-Ganimmi At-Taftazani (peneliti tasawuf) dalam bukunya yang
berjudul Madkhal ila At-Tasawwuf (Pengantar Tasawuf Isalm), sebagaimana dikutip
oleh Rosihon Anwar dal;am bukunya yang berjudul akhlak Tasawuf, menurutnya
tasawuf mempunyai lima ciri yaitu:
1.
Adanya
moral.
2.
Pemenuhan
fana’ (sirna) dalam realitas mutlak.
3.
Pengetahuan
intuitif langsung.
4.
Timbulnya
rasa kebahagiaan sebagai karunia Allah dalam diri seorang sufi karena
tercapainya maqamat (maqam-maqam atau beberapa tingkatan).
5.
Penggunaan
simbol-simbol pengungkapan yang biasanya mengandung pengertian harfiah dan
tersirat.[9]
C.
Dasar-dasar tasawuf.
Tasawuf
pada awal pembentukannya adalah akhlak atau keagamaan, dan moral keagamaan ini
banyak diatur dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Jadi, jelas sumber pertamanya
adalah ajaran-ajaran Islam, sebab tasawuf ditimba dari al-Qur’an, as-Sunnah,
dan amalan-amalan serta ucapan para sahabat. Amalan dan ucapan para sahabat itu
tentu saja tidak keluar dari ruang lingkup al-Qur’an dan as-Sunnah. Dengan
demikian, sumber utama tasawuf adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.[10]
1.
Landasan al-Qur’an.
Para pengkaji tentang tasawuf sepakat bahwasanya tasawuf
berazaskan kezuhudan sebagaimana yang diperaktekkan oleh Nabi Saw, dan
sebahagian besar dari kalangan sahabat dan tabi’in. Kezuhudan ini merupakan
implementasi dari nash-nash al-Qur’an dan Hadis-hadis Nabi Saw yang
berorientasi akhirat dan berusaha untuk menjuhkan diri dari kesenangan duniawi
yang berlebihan yang bertujuan untuk mensucikan diri, bertawakkal kepada Allah
Swt, takut terhadap ancaman-Nya, mengharap rahmat dan ampunan dari-Nya dan
lain-lain[11].
Diantara ayat-ayat Allah yang dijadikan landasan akan urgensi
kezuhudan dalam kehidupan dunia adalah firman Allah dalam al-Qur’an Q.S
Asy-Syuura : 20.
`tB c%x. ßÌã y^öym ÍotÅzFy$# ÷ÌtR ¼çms9 Îû ¾ÏmÏOöym (
`tBur c%x. ßÌã y^öym $u÷R9$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB $tBur ¼çms9 Îû ÍotÅzFy$# `ÏB A=ÅÁ¯R ÇËÉÈ
Artinya: “Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami
tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di
dunia kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada
baginya suatu bahagianpun di akhirat”.[12] (Q.S
Asy-Syuura : 20).
Diantara nash-nash al-Qur’an yang
mememerintahkan orang-orang beriman agar senantiasa berbekal untuk akhirat
adalah firman Allah dalam Q.S al-Hadid : 20.
(#þqßJn=ôã$# $yJ¯Rr& äo4quysø9$# $u÷R9$# Ò=Ïès9 ×qølm;ur ×puZÎur 7äz$xÿs?ur öNä3oY÷t/ ÖèO%s3s?ur Îû ÉAºuqøBF{$# Ï»s9÷rF{$#ur (
È@sVyJx. B]øxî |=yfôãr& u$¤ÿä3ø9$# ¼çmè?$t7tR §NèO ßkÍku çm1utIsù #vxÿóÁãB §NèO ãbqä3t $VJ»sÜãm (
Îûur ÍotÅzFy$# Ò>#xtã ÓÏx© ×otÏÿøótBur z`ÏiB «!$# ×bºuqôÊÍur 4
$tBur äo4quysø9$# !$u÷R$!$# wÎ) ßì»tFtB Írãäóø9$# ÇËÉÈ
Artinya : “Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya
kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan
bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta
dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian
tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian menjadi
hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta
keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”.
(Q.S al-Hadid : 20).[13]
Abu
Al-Wafa’ Al-Ganimi At-Taftazani mengatakan bahwa tahapan (maqamat) dan
keadaan (akhwal) para sufi, yang ada pada dasarnya merupakan tema pokok
ajaran tasawuf, berlandaskan al-Qur’an. Berikut adalah ayat-ayat al-Qur’an yang
menjadi landasan sebagian maqamat dan akhwal para sufi:
a)
Tentang
penggemblengan jiwa (mujahadah an-nafs), terdapat dalam firman Allah
Q.S. al-Ankabut : 69 dan Q.S. An-Naziat : 40-41.
b)
Tentang
maqam taqwa, terdapat dalam firman Allah Q.S. Al-Hujurat : 13 dan Q.S.
Al-Baqarah : 194.
c)
Tentang
maqam zuhud, terdapat dalam firman Allah Q.S. An-Nisa : 77 dan Q.S.
Al-Hadid : 20.
d)
Tentang
maqam tobat, terdapat dalam firman Allah Q.S. At-Tahrim : 8.
e)
Tentang
maqam tawakal, terdapat dalam firman Allah Q.S. At-Thalaq : 3 dan Q.S.
Az-Zumar : 39.
f)
Tentang
maqam syukur, terdapat dalam firman Allah Q.S. Ibrahim : 7 dan Q.S. Ali
Imran : 145.
g)
Tentang
maqam shabar, terdapat dalam firman Allah Q.S. Mu’min : 55, dan Q.S.
Al-Baqarah : 155.
h)
Tentang
maqam rida, terdapat dalam firman Allah Q.S. Al-Maidah : 119.
i)
Tentang
kemungkinan manusia dapat saling mencintai (mahabbah) dengan Tuhan,
terdapat dalam firman Allah Q.S. Al-Maidah : 54, dan Q.S. Ali Imran : 31.
j)
Tentang
maqam ma’rifah, terdapat dalam firman Allah Q.S. Al-Baqarah : 282, dan
Al-Kahfi : 65.
k)
Tentang
hal (kondisi jiwa) muqarabah, terdapat dalam firman Allah Q.S.
Al-alaq : 14.
l)
Tentang
kondisi khauf (takut), terdapat dalam firman Allah Q.S. As-Sajdah : 16,
dan Q.S. Ali Imran : 175.
m)
Tentang
kondisi raja’ (harap), terdapat dalam firman Allah Q.S. Al-Ankabut : 5,
dan Q.S. Al-Baqarah : 218.
n)
Tentang
kondisi tuma’ninah, terdapat dalam firman Allah Q.S. Al-Fajr : 27-28, dan Q.S.
Ar-Rad : 28.[14]
2.
Landasan Hadits.
Pada
prinsipnya, banyak hadits yang mengajak manusia untuk mencintai Allah dengan
hati yang bersih. Diantaranya hadiits yang artinya: “ Barang siapa yang
mengenal dirinya sendiri maka akan mengenal Tuhannya”.
Hadits
tersebut disamping melukiskan kedekatan hubungan antara Tuhan dan manusia,
sekaligus mengisyaratkan arti bahwa manusia dan Tuhan adalah satu. Oleh sebab
itu, barang siapa yang ingin mengenal Tuhan, cukup mengenal dan merenungkan
perihal dirinya.[15]
Dalam
sebuah Hadits Qudsi, Allah SWT berfirman, “Sangat pantas melalui
amalan-amalan sunat sehingga aku mencintainya. Bila mencintainya, jadilah Aku
pendengarnya yang dia pakai untuk mendengar, penglihatannya untuk melihat, dan
lidahnya yang dia pakai untuk berbicara, dan tangannya yang dia pakai untuk
mengepal, dan kakinya yang dia pakai untuk berusaha, maka dengan-Ku-lah, dia
mendengar, melihat, berbicara, berpikir, meninjau, dan berjalan”.
Dalam
kehidupan Nabi Muhammmad SAW juga terdapat petunjuk yang menggambarkan bahwa
dirinya adalah seorang sufi. Selama di Gua Hira, rasulullah SAW bertafakur,
beribadah dan hidup sebagai seorang zahid. Beliau hidup sangat sederhana,
bahkan terkadang memaskai pakaian tambalan, tidak memakan makanan dan minuman kecuali
yang halal, dan setiap malam senantiasa beibadah kepada Allah
SWT. Dikalangan sahabat pun juga terdapat orang yang mengikuti paraktik
bertasawuf, seperti Abu Bakar Ash-siddiq pernah berkata : “Aku mendapat
kemuliaan dalam ketaqwaan, kefana’an dalam keagungan dan kerendahan hati”.
Kholifah Umar Ibn Khattab pernah berkhotbah di hadapan para jamaah kaum
muslimin dalam keadaan berpakaian yang sangat sederhana. Kholifah Utsman Ibn
Affan banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah dan membaca al-Qur’an. Demikian
pula dengan para sahabat yang lain, seperti Abu Dzar Al-Ghifari, Tamin Darmy,
dan Hudzaifah al-Yamani. Jadi jelaslah bahwa benih-benih tasawuf telah
diterangkan dalam al-Qur’an dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para
sahabat dalam kehidupansehari-hari.[16]
D.
Jalan tasawuf.
Kalau mengikuti
rincian Reynold A. Nicholson, maka jalan tasawuf yang terkenal itu ada
beberapa, yaitu:
1. Kefakiran, memiliki sedikit mungkin barang-barang duniawi dipandang secara
meyakinkan sebagai yang sangat mungkin untuk mencapai keselamatan, arti
kefakiran dalam arti sesungguhnya itu bukan berarti semata-mata kekurangan
dalam kekayaan tapi bahkan tidak memiliki keinginan untuk tidak memiliki
kekayaan.
2. Penahanan diri, berarti memisahkan nafsu dari hal-hal yang telah dibiasainya,
dengan demikian seseorang telah terdorong untuk melawan hawa nafsunya.
3. Penyerahan diri kepada Tuhan, hal ini diwujudkan dalam sikap kepasifan
total bagaikan jenazah di tangan petugas pemandi jenazah yang sedang
mempersiapkan pemakaman. Ini bisa berarti sebagai gambaran ketidakpedulian
terhadap diri sendiri.
4. Zikir, caranya adalah dengan menyebut
nama Tuhan secara berulang-ulang yang dilakukan dalam intonasi mekanis tertentu
dan melakukan konsentrasi secara intens terhadap setiap bagian kata atau kalimat.[17]
E.
Peranan tasawuf.
1. Membersihkan hati dan jawarih (anggota) daripada dosa,
kesalahan dan kesilapan.
2. Menghidupkan rasa kehambaan.
3. Menanamkan rasa keikhlasan.
4. Menghidupkan rasa bertuhan.
Menghidupkan
rasa kehambaan. Ilmu tasawuf dapat menghidupkan
rasa kehambaan. Untuk kita terasa hamba. Menghidupkan rasa takut pada Allah
yang mesti ada di mana-mana. Rasa malu mesti dihidupkan kerana Allah melihat,
Allah memerhati. Menghidupkan rasa hina diri di hadapan Tuhan. Rasa kehambaan
ini bila dihidupkan, mazmumah akan hilang dengan sendiri. Orang yang terlalu
sombong, ego, ujub itu adalah disebabkan tidak ada rasa kehambaan.
Menghidupkan
rasa bertuhan. Hati sentiasa sedar Allah
melihat, mengetahui dan Allah sentiasa ada bersama kita. Inilah kunci kita
tidak melakukan dosa. Contohnya dalam majlis raja, kita tidak akan buat salah
sekalipun menguap. Kita amat jaga tingkah laku kerana kita sedar raja yang
berkuasa sedang melihat kita. Maka di hadapan Raja segala raja sepatutnya
lebih-lebih lagilah kita malu hendak buat dosa.
Rasa bertuhan mesti bertapak di
hati, barulah rasa kehambaan itu diperoleh. Ilmu tasawuf adalah ilmu tentang
rohaniah. Ilmu rohaniah artinya ilmu yang berkait rapat dengan roh (hati nurani
manusia).[18]
Al Quran menganjurkan ilmu ini. Allah SWT berfirman dalam Q.S. Asy Syam : 9-10.
ôs% yxn=øùr&
`tB $yg8©.y
ÇÒÈ ôs%ur
z>%s{ `tB $yg9¢y
ÇÊÉÈ
Artinya: “Beruntunglah orang yang mensucikan hatinya dan
rugilah orang-orang yang mengotorinya.”[19]
(Asy Syam: 9 - 10).
Ilmu tasawuf adalah salah satu ilmu
dasar dalam Islam, selain dari Aqidah dan Syariat.
Ilmu tasawuf/rohani adalah ilmu yang mempelajari perilaku tabiat roh atau hati
baik yang baik (mahmudahnya) maupun buruk (mazmumah). Bukan untuk
mengetahui hakikat zat roh itu sendiri. Hakikat roh itu sendiri tidak akan
dapat dijangkau oleh mata kepala atau tidak akan dapat dibahaskan. Tetapi apa
yang hendak dibahaskan adalah sifat-sifatnya sahaja supaya kita dapat mengenal
sifat-sifat roh atau hati kita yang semula jadi itu. Mana-mana yang mahmudahnya
(positif) hendak dipersuburkan dan dipertajamkan. Kita pertahankannya kerana
itu adalah diperintah oleh syariat, diperintah oleh Allah dan Rasul dan
digemari oleh manusia. Mana-mana yang mazmumahnya (negatif) hendaklah
ditumpaskan kerana sifat-sifat negatif itu dimurkai oleh Allah dan Rasul serta
juga dibenci oleh manusia.
Ilmu tasawuf sering disebut juga
dengan ilmu batin, namun tidak
sama dengan ilmu pengasih atau ilmu kebal. Orang yang belajar ilmu batin
bermakna dia belajar ilmu kebal atau belajar ilmu pengasih. Sebenarnya orang
itu belajar ilmu kebudayaan Melayu, yang mana ilmu itu ada dicampur dengan
ayat-ayat Al Quran. Kebal juga adalah satu bagian dari kebudayaan orang Melayu
yang sudah disandarkan dengan Islam. Kalau kita hendak mempelajarinya tidak
salah jika tidak ada unsur-unsur syirik. Tetapi itu bukan ilmu tasawuf.[20]
F.
Tujuan tasawuf.
Tujuan tasawuf adalah “fana” untuk mencapai
“ma’rifatullah” yaitu leburnya pribadi kepada kebaqaan Allah,
dimana perasaan keinsanan lenyap diliputi rasa keTuhanan. Yang dimaksud “fana”
di sini adalah seluruh makhluk hati, dunia dan diri sendiri hilang sama sekali
dari ingatan hati, karena ia tenggelam dalam kenikmatan ingat kepada Allah
semata. Sedangkan tujuan tasawuf lainnya adalah “insan kamil”, yaitu manusia
utama atau manusia yang karena adanya realisasiwahdah asasi dengan
Tuhan yang mengakibatkan adanya sifat-sifat dan keutamaan Tuhan padanya.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa ilmu tasawuf bertugas
membahas soal-soal yang berkaitan dengan akhlak dan budi pekerti serta seluruh
sifat yang berjalan dengan hati. Jadi sasaran tasawuf adalah akhlak dan budi
perkerti yang baik berdasarkan kasih dan cinta kepada Allah. Karena itu, ajaran
tasawuf sangat mengutamakan adab/nilai baik dalam berhubungan dengan manusia
ataupun dengan Tuhan. Seorang sufi Al Junaid dalam kitab Al Hikam mengatakan
bahwa perilaku sufi itu harus melakukan empat hal, yaitu:
1. Ia harus mengenal Allah, sehingga ia seperti tidak ada jarak dengan Allah.
2. Ia harus melakukan semua akhlak yang baik menurut ajaran Nabi Muhammad dan
meninggalkan akhlak yang buruk.
3. Ia harus bisa mengendalikan hawa nafsunya
sesuai dengan ajaran Allah.
4. Ia harus merasa tiada memiliki sesuatu apa pun dan juga merasa tidak
dimiliki siapapun kecuali Allah.[21]
G.
Tahapan-tahapan tasawuf
Sedangkan
tahapan-tahapan tasawuf ada empat yang harus dilalui oleh hamba yang menekuni
ajaran tasawuf untuk mencapai tujuan utama tasawuf, diantaranya:
1. Syari’at yang meliputi perbuatan yang nyata dan tidak nyata (perbuatan
hati). Sedangkan menurut Abu Bakar Ma’ruf mendifinisikannya sebagai segala
macam perintah dan larangan Allah swt.
2. Tarekat, yaitu jalan menuju kepada hakikat
atau dengan kata lain pengamalan syari’at yang disebut sebagai “Al-Amal”.
3. Hakikat, yang berarti kebenaran. Kalau dikatakan sebagai Ilmu Hakikat,
berarti ilmu yang mencari kebenaran. Hakikat yang didapatkan oleh sufi setelah
lama menempuh tarekat, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang dihadapinya.
4. Ma’rifat, yang berarti mengetahui atau
mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan tasawuf maka
istilah ma’rifat di sini berarti mengenal Allah ketika sufi mencapai suatu
maqam dalam tasawuf.
Keempat tahapan yang
harus dilalui oleh sufi ketika menekuni ajaran tasawuf harus dilalui secara
berurutan tidak mungkin dilalui secara terbalik atau secara terputus-putus.
Dengan cara menempuh tahapan tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba tidak
akan mengalami kegagalan dan tidak pula mengalami kesesatan.[22]
BAB
III
KESIMPULAN
Tasawuf adalah suatu cabang ilmu dalam islam yang menekankan dimensi atau
aspek spiritual dari islam. Spiritualitas ini mengambil bentuk yang beraneka di
dalamnya. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan pada
kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia serta lebih menekankan penafsiran
batini ketimbang penafsiran lahiriah.
Tasawuf merupakan salah satu bidang studi islam yang memfokuskan pada
dimensi esoterik, yaitu pembersihan aspek rohani manusia sehingga dapat
menimbulkan akhlak mulia. Melalui studi tasawuf ini, seseorang dapat mengetahui
tata cara melakukan pembersihan jiwa serta mengamalkan secara benar. Dari
pengetahuan ini ia akan tampil sebagai seorang yang pandai dan terampil pada
saat berinteraksi dengan orang lain atau saat melakukan aktifitas dunia yang
menuntut kejujuran, keikhlasan dan tanggung jawab. Jadi sasaran tasawuf adalah
akhlak dan budi perkerti yang baik berdasarkan kasih dan cinta kepada Allah.
Karena itu, ajaran tasawuf sangat mengutamakan adab/nilai baik dalam
berhubungan dengan manusia ataupun dengan Tuhan.
Keempat tahapan (syari’at, tarekat, hakikat dan ma’rifat) yang
harus dilalui oleh sufi ketika menekuni ajaran tasawuf harus dilalui secara
berurutan tidak mungkin dilalui secara terbalik atau secara terputus-putus.
Dengan cara menempuh tahapan tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba tidak
akan mengalami kegagalan dan tidak pula mengalami kesesatan.
|
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon.
Akhlak Tasawuf,( Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009).
Damami,
Mohammad. Tasawuf Positif , (Yogyakarta : Fajar Pustaka
Baru, 2000).
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2005).
Kartanegara, Mulyadi. Menyelami
Lubuk Tasawuf, (Jakarta : Penerbit
Erlangga, 2006).
K.
Permadi. Pengantar
Ilmu Tasawuf, (Jakarta : PT Rineka
Cipta, 2004).
Mahjuddin. Kuliah
Akhlak Tasawuf, (Jakarta : Kalam
Mulia, 1991).
M. Syatori. Tasawuf. (Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati
Fakultas Ushuludin, 1991).
Nasution, Harun. Falasafah
dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).
http://id.wikipedia.org/wiki/Sufisme.
http://moethans.wordpress.com/2009/10/14/12/
|
[3] Harun
Nasution. Falasafah dan Mistisisme
dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 57.
[4] Rosihon Anwar.
Akhlak Tasawuf,( Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2009), cet. 1,. h. 12-13.
[5] Harun Nasution.
loc. cit.
[6] Rosihon Anwar.
op. cit., h. 14.
[7] M. Syatori. Tasawuf.
(Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati Fakultas Ushuludin, 1991), h. 2-5.
[9] Rosihon Anwar.
op. cit., h. 17.
[10] Ibid, h. 20.
[13] Ibid, h. 540.
[14] Rosihon Anwar.
op. cit., h. 21-28.
[15] Harun Nasution. op. cit. h. 61.
[16] Rosihon Anwar.
op. cit., h. 29-30.
sip
BalasHapus