Sabtu, 03 Maret 2012

KONSEP DASAR ILMU TASAWUF


BAB I
PENDAHULUAN
Tasawuf atau dalam ilmu pengetahuan atau lebih dikenal dengan sufisme, adalah suatu istilah yang lazim dipergunakan untuk mistikisme dalam islam, sebenarnya, suluk merupakan suatu isltilah khusus dalam konteks yang lebih luas, yaitu mistikisme nusantara. Tujuan pokoknya tetap sama, yakni memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan.
Walaupun apa yang diuraikan tantang pengertian tentang tasawuf cukup gamblang, namun masih banyak kalangan umat islam yang masih meragukan bahwa tasawuf tidak bersumber dari ajaran agama islam. Padahal sebenarnya tasawuf adalah pokok-pokok ajaran dari Nabi Muhammad saw yang diduskusikan dengan para sahabat Nabi tentang apa-apa yang diperolehnya dari malaikat Jibril berkenaan dengan pokok-pokok ajaran islam, yakni islam, iman dan ihsan. Ketiga sendi pokok ini diimplementasikan dalam pelaksanaan tasawuf sebagaimana diriwayatkan perawi Hadits Imam Bukhari dan Muslim.
Dasar-dasar tasawuf telah ada sejak datangnya agama Islam, hal ini dapat diketahui dari kehidupan Rasulullah Saw. cara hidup beliau yang kemudian diteladani dan diikuti oleh para sahabat. Selama periode Makah, kesadaran spiritual Rasulullah Saw. adalah berdasarkan atas pengalaman-pengalaman mistik yang jelas dan pasti, sebagaimana dilukiskan dalam Alquran surat An-Najm: 11-13; Surat At-Takwir: 22-23. Kemudian ayat-ayat yang menyangkut aspek moralitas dan asketisme, sebagai salah satu masalah prinsipil dalam tasawuf, para sufi merujuk kepada Alquran sebagai landasan utama. Karena manusia mempunyai kecenderungan sifat baik dan sifat jahat, sebagaimana yang dinyatakan. “Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan,” maka harus dilakukan pengikisan terhadap sifat yang jelek dan pengembangan sifat-sifat baik, “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu”.


1
 
 

BAB II
KONSEP DASAR ILMU TASAWUF
A.  Pengertian tasawuf.
1.    Pengertian tasawuf secara lughowi (bahasa).
Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (Bahasa Arab:تصوف ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi.[1] Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yagn dihubung-hubungkan para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Harun Nasution, menyebutkan lima istilah yang berkenaan dengan tasawuf, yaitu: al-Shuffah (orang yang tinggal di serambi masjid nabi) , shaf (barisan), sufi (suci), sophos (bahasa yunani: hikmat), dan suf (kain wol).[2]
Arti tasawuf secara lughowi (etimologi) diperselisihkan oleh para ahli. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan mereka dalam memandang asal-usul kata itu. Asal usul kata tasawuf menurut mereka antara lain:
a.    Tasawuf berasal dari kata “shuf” yang berarti wol kasar, karena orang-orang sufi selalu memakai pakaian tersebut sebagai lambang kesederhanaan.[3]
b.    Tasawuf berasal dari akar kata “shafa’ ”, yang berarti bersih. Disebut sufi karena hatinya tulus dan bersih di hadapan Tuhannya. Tujuan sufi adalah membersihkan batin melalui latihan-latihan yang lama dan ketat.
c.   
2
 
Tasawuf berasal dari istilah yang dikonotasikan dengan Ahl As-Suffah, yaitu: orang-orang yang tinggal di suatu kamar di samping masjid Nabi di Madinah. Mereka adalah orang-orang miskin yang telah kehilangan harta benda karena mengikuti hijrah Nabi dari Mekah ke Madinah. Mereka adalah pejuang fi sabilillah untuk mendekatkan diri kepada Allah.[4]
d.   Tasawuf berasal dari kata “sopohos”, berasal dari bahasa Yunani yang berarti hikmah. Mereka berusaha mensucikan jiwa untuk mendekati Tuhan. Mereka berpandangan bahwa Allah Maha Suci, hanya yang suci yang bisa berhubungan dengan Allah.
e.    Tasawuf berasal dari kata “shaf”, yang dinisbahkan kepada orang-orang yang ketika sholat selalu berada di shaf yang paling depan dengan alasan oprang yang sholat di shaf pertama mendapat kemuliaan dan pahala dari Allah SWT.[5]
f.      Tasawuf berkaitan dengan kata (Ash- Sifatu), karena para sufi sangat mementingkan sifat-sifat terpuji dan berusaha keras meninggalkan sifat-sifat tercela.
g.    Tasawuf berasal dari kata “Shaufanah”, yaitu sebangsa buah-buahan kecil yang berbulu-bulu dan banyak tumbuh di padang pasir di tanah Arab, dimana pakaian sufi itu berbulu-bulu seperti buah itu pula, dalam kesederhanaannya.[6]

2.    Pengertian tasawuf secara istilah.
Adapun tentang definisi tasawuf secara istilah ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh sejumlah tokoh sufi, sesuai dengan pengamalan spiritual dan pengamatan masing-masing, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
a)    Abu Husein An-Nuri. Berpendapat sufi adalah kelompok kaum yang memiliki hati bersih dari segala keburukan yang dibuat manusia dan bersih dari penyakit batin serta bebas dari segala bentuk syahwat sehingga mereka berada dibarisan pertama dan mendapatkan derajat yang tinggi serta kebenaran.
b)   Al-Junaid Al-Baghdadi, tokoh sufi modern mengatakan bahwa, tasawuf ialah membersihkan diri hati dari sifat yang menyamai binatang dan melepaskan akhlak yang fitri, menekankan sifat basyariah atau kemanusiaan, menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat bagi sifat-sifat kerohanian, berpegang pada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas dasar keabadiannya, memberi nasihat kepada umat, benar-benar menepati janji kepada Allah SWT, dan mengikuti syariah Rasulullah saw.
c)    Dzun Al-Misri. Berpendapat bahwa sufi adalah orang yang tidak menyusahkan bagi dirinya dari segala permintaannya, juga tidak menyusahkan dirinya dari ketiadaan.
d)   Al-Kanani. Berpendapat tasawuf adalah akhlak, maka barang siapa yang bertambah akhlaknya, bertambah pula kesuciannya.
e)    Sahal bin Abdillah. Berpendapat Bahwa tasawuf adalah menyedikitkan makan, sungguh-sungguh beribadah kepada Allah dan lari dari manusia.[7]
f)    Bisri bin Haris mengatakan bahwa, sufi ialah orang yang suci hatinya menghadap Allah SWT.
g)    Sahl al-Tustari mengatakan bahwa sufi ialah orang yang bersih dari kekeruhan. Penuh dengan renungan, putus hubungan dengan manusia dalam menghadap Allah SWT dan baginya tidak ada beda antara harga emas dan pasir.
h)    Abu Qasyim Abdul Karim Al-Qusyairi memberikan definisi bahwa tasawuf ialah menjabarkan ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Sunnah, berjuang mengendalikan nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan syahwat, dan menghindarkan dari sifat meringankan ibadah.
i)     Ma’ruf Al-Karkhi mengatakan bahwa tasawuf ialah mengambil hakikat dan tidak tamak dari apa yang ada dalam genggaman tangan makhluk.
Dari beberapa definisi tersebut, Zakaria Al-Ansari penulis tasawuf (852-925H) mencoba meringkasnya sebagai berikut: “Tasawuf mengajarkan cara untuk menyucikan diri, meningkatkan akhlak, dan membangun kehidupan jasmani dan rohani untuk mencapai kebahagiaan abadi. Unsur utama tasawuf adalah mensucikan diri dan tujuan akhirnya adalah kebahagiaan dan keselamatan abadi”.
Jadi dengan kata lain tasawuf adalah suatu cabang ilmu dalam islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dari islam. Spiritualitas ini mengambil bentuk yang beraneka di dalamnya. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan pada kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia serta lebih menekankan penafsiran batini ketimbang penafsiran lahiriah.[8]

B.  Ciri-ciri umum tasawuf.
Menurut Abu Al-Wafa’ Al-Ganimmi At-Taftazani (peneliti tasawuf) dalam bukunya yang berjudul Madkhal ila At-Tasawwuf (Pengantar Tasawuf Isalm), sebagaimana dikutip oleh Rosihon Anwar dal;am bukunya yang berjudul akhlak Tasawuf, menurutnya tasawuf mempunyai lima ciri yaitu:
1.    Adanya moral.
2.    Pemenuhan fana’ (sirna) dalam realitas mutlak.
3.    Pengetahuan intuitif langsung.
4.    Timbulnya rasa kebahagiaan sebagai karunia Allah dalam diri seorang sufi karena tercapainya maqamat (maqam-maqam atau beberapa tingkatan).
5.    Penggunaan simbol-simbol pengungkapan yang biasanya mengandung pengertian harfiah dan tersirat.[9]

C.  Dasar-dasar tasawuf.
Tasawuf pada awal pembentukannya adalah akhlak atau keagamaan, dan moral keagamaan ini banyak diatur dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Jadi, jelas sumber pertamanya adalah ajaran-ajaran Islam, sebab tasawuf ditimba dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan amalan-amalan serta ucapan para sahabat. Amalan dan ucapan para sahabat itu tentu saja tidak keluar dari ruang lingkup al-Qur’an dan as-Sunnah. Dengan demikian, sumber utama tasawuf adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.[10]
1.    Landasan al-Qur’an.
Para pengkaji tentang tasawuf sepakat bahwasanya tasawuf berazaskan kezuhudan sebagaimana yang diperaktekkan oleh Nabi Saw, dan sebahagian besar dari kalangan sahabat dan tabi’in. Kezuhudan ini merupakan implementasi dari nash-nash al-Qur’an dan Hadis-hadis Nabi Saw yang berorientasi akhirat dan berusaha untuk menjuhkan diri dari kesenangan duniawi yang berlebihan yang bertujuan untuk mensucikan diri, bertawakkal kepada Allah Swt, takut terhadap ancaman-Nya, mengharap rahmat dan ampunan dari-Nya dan lain-lain[11].
Diantara ayat-ayat Allah yang dijadikan landasan akan urgensi kezuhudan dalam kehidupan dunia adalah firman Allah dalam al-Qur’an Q.S Asy-Syuura : 20.
`tB šc%x. ߃̍ムy^öym ÍotÅzFy$# ÷ŠÌtR ¼çms9 Îû ¾ÏmÏOöym ( `tBur šc%x. ߃̍ムy^öym $u÷R9$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB $tBur ¼çms9 Îû ÍotÅzFy$# `ÏB A=ŠÅÁ¯R ÇËÉÈ  
Artinya:  “Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat”.[12] (Q.S Asy-Syuura : 20).

Diantara nash-nash al-Qur’an yang mememerintahkan orang-orang beriman agar senantiasa berbekal untuk akhirat adalah firman Allah dalam Q.S al-Hadid : 20.
(#þqßJn=ôã$# $yJ¯Rr& äo4quysø9$# $u÷R9$# Ò=Ïès9 ×qølm;ur ×puZƒÎur 7äz$xÿs?ur öNä3oY÷t/ ֍èO%s3s?ur Îû ÉAºuqøBF{$# Ï»s9÷rF{$#ur ( È@sVyJx. B]øxî |=yfôãr& u$¤ÿä3ø9$# ¼çmè?$t7tR §NèO ßkÍku çm1uŽtIsù #vxÿóÁãB §NèO ãbqä3tƒ $VJ»sÜãm ( Îûur ÍotÅzFy$# Ò>#xtã ÓƒÏx© ×otÏÿøótBur z`ÏiB «!$# ×bºuqôÊÍur 4 $tBur äo4quysø9$# !$u÷R$!$# žwÎ) ßì»tFtB Írãäóø9$# ÇËÉÈ  
Artinya : “Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. (Q.S al-Hadid : 20).[13]

Abu Al-Wafa’ Al-Ganimi At-Taftazani mengatakan bahwa tahapan (maqamat) dan keadaan (akhwal) para sufi, yang ada pada dasarnya merupakan tema pokok ajaran tasawuf, berlandaskan al-Qur’an. Berikut adalah ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi landasan sebagian maqamat dan akhwal para sufi:
a)    Tentang penggemblengan jiwa (mujahadah an-nafs), terdapat dalam firman Allah Q.S. al-Ankabut : 69 dan Q.S. An-Naziat : 40-41.
b)   Tentang maqam taqwa, terdapat dalam firman Allah Q.S. Al-Hujurat : 13 dan Q.S. Al-Baqarah : 194.
c)    Tentang maqam zuhud, terdapat dalam firman Allah Q.S. An-Nisa : 77 dan Q.S. Al-Hadid : 20.
d)   Tentang maqam tobat, terdapat dalam firman Allah Q.S. At-Tahrim : 8.
e)    Tentang maqam tawakal, terdapat dalam firman Allah Q.S. At-Thalaq : 3 dan Q.S. Az-Zumar : 39.
f)    Tentang maqam syukur, terdapat dalam firman Allah Q.S. Ibrahim : 7 dan Q.S. Ali Imran : 145.
g)   Tentang maqam shabar, terdapat dalam firman Allah Q.S. Mu’min : 55, dan Q.S. Al-Baqarah : 155.
h)   Tentang maqam rida, terdapat dalam firman Allah Q.S. Al-Maidah : 119.
i)     Tentang kemungkinan manusia dapat saling mencintai (mahabbah) dengan Tuhan, terdapat dalam firman Allah Q.S. Al-Maidah : 54, dan Q.S. Ali Imran : 31.
j)     Tentang maqam ma’rifah, terdapat dalam firman Allah Q.S. Al-Baqarah : 282, dan Al-Kahfi : 65.
k)   Tentang hal (kondisi jiwa) muqarabah, terdapat dalam firman Allah Q.S. Al-alaq : 14.
l)     Tentang kondisi khauf (takut), terdapat dalam firman Allah Q.S. As-Sajdah : 16, dan Q.S. Ali Imran : 175.
m) Tentang kondisi raja’ (harap), terdapat dalam firman Allah Q.S. Al-Ankabut : 5, dan Q.S. Al-Baqarah : 218.
n)   Tentang kondisi tuma’ninah, terdapat dalam firman Allah Q.S. Al-Fajr : 27-28, dan Q.S. Ar-Rad : 28.[14]

2.    Landasan Hadits.
Pada prinsipnya, banyak hadits yang mengajak manusia untuk mencintai Allah dengan hati yang bersih. Diantaranya hadiits yang artinya: “ Barang siapa yang mengenal dirinya sendiri maka akan mengenal Tuhannya”.
Hadits tersebut disamping melukiskan kedekatan hubungan antara Tuhan dan manusia, sekaligus mengisyaratkan arti bahwa manusia dan Tuhan adalah satu. Oleh sebab itu, barang siapa yang ingin mengenal Tuhan, cukup mengenal dan merenungkan perihal dirinya.[15]
Dalam sebuah Hadits Qudsi, Allah SWT berfirman, “Sangat pantas melalui amalan-amalan sunat sehingga aku mencintainya. Bila mencintainya, jadilah Aku pendengarnya yang dia pakai untuk mendengar, penglihatannya untuk melihat, dan lidahnya yang dia pakai untuk berbicara, dan tangannya yang dia pakai untuk mengepal, dan kakinya yang dia pakai untuk berusaha, maka dengan-Ku-lah, dia mendengar, melihat, berbicara, berpikir, meninjau, dan berjalan”.
Dalam kehidupan Nabi Muhammmad SAW juga terdapat petunjuk yang menggambarkan bahwa dirinya adalah seorang sufi. Selama di Gua Hira, rasulullah SAW bertafakur, beribadah dan hidup sebagai seorang zahid. Beliau hidup sangat sederhana, bahkan terkadang memaskai pakaian tambalan, tidak memakan makanan dan minuman kecuali yang halal, dan setiap malam senantiasa beibadah kepada Allah SWT. Dikalangan sahabat pun juga terdapat orang yang mengikuti paraktik bertasawuf, seperti Abu Bakar Ash-siddiq pernah berkata : “Aku mendapat kemuliaan dalam ketaqwaan, kefana’an dalam keagungan dan kerendahan hati”. Kholifah Umar Ibn Khattab pernah berkhotbah di hadapan para jamaah kaum muslimin dalam keadaan berpakaian yang sangat sederhana. Kholifah Utsman Ibn Affan banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah dan membaca al-Qur’an. Demikian pula dengan para sahabat yang lain, seperti Abu Dzar Al-Ghifari, Tamin Darmy, dan Hudzaifah al-Yamani. Jadi jelaslah bahwa benih-benih tasawuf telah diterangkan dalam al-Qur’an dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabat dalam kehidupansehari-hari.[16]



D.  Jalan tasawuf.
Kalau mengikuti rincian Reynold A. Nicholson, maka jalan tasawuf yang terkenal itu ada beberapa, yaitu:
1.    Kefakiran, memiliki sedikit mungkin barang-barang duniawi dipandang secara meyakinkan sebagai yang sangat mungkin untuk mencapai keselamatan, arti kefakiran dalam arti sesungguhnya itu bukan berarti semata-mata kekurangan dalam kekayaan tapi bahkan tidak memiliki keinginan untuk tidak memiliki kekayaan.
2.    Penahanan diri, berarti memisahkan nafsu dari hal-hal yang telah dibiasainya, dengan demikian seseorang telah terdorong untuk melawan hawa nafsunya.
3.    Penyerahan diri kepada Tuhan, hal ini diwujudkan dalam sikap kepasifan total bagaikan jenazah di tangan petugas pemandi jenazah yang sedang mempersiapkan pemakaman. Ini bisa berarti sebagai gambaran ketidakpedulian terhadap diri sendiri.
4.     Zikir, caranya adalah dengan menyebut nama Tuhan secara berulang-ulang yang dilakukan dalam intonasi mekanis tertentu dan melakukan konsentrasi secara intens terhadap setiap bagian kata atau kalimat.[17]

E.  Peranan tasawuf.
1.    Membersihkan hati dan jawarih (anggota) daripada dosa, kesalahan dan kesilapan.
2.    Menghidupkan rasa kehambaan.
3.    Menanamkan rasa keikhlasan.
4.    Menghidupkan rasa bertuhan.
Menghidupkan rasa kehambaan. Ilmu tasawuf dapat menghidupkan rasa kehambaan. Untuk kita terasa hamba. Menghidupkan rasa takut pada Allah yang mesti ada di mana-mana. Rasa malu mesti dihidupkan kerana Allah melihat, Allah memerhati. Menghidupkan rasa hina diri di hadapan Tuhan. Rasa kehambaan ini bila dihidupkan, mazmumah akan hilang dengan sendiri. Orang yang terlalu sombong, ego, ujub itu adalah disebabkan tidak ada rasa kehambaan.
Menghidupkan rasa bertuhan. Hati sentiasa sedar Allah melihat, mengetahui dan Allah sentiasa ada bersama kita. Inilah kunci kita tidak melakukan dosa. Contohnya dalam majlis raja, kita tidak akan buat salah sekalipun menguap. Kita amat jaga tingkah laku kerana kita sedar raja yang berkuasa sedang melihat kita. Maka di hadapan Raja segala raja sepatutnya lebih-lebih lagilah kita malu hendak buat dosa.
Rasa bertuhan mesti bertapak di hati, barulah rasa kehambaan itu diperoleh. Ilmu tasawuf adalah ilmu tentang rohaniah. Ilmu rohaniah artinya ilmu yang berkait rapat dengan roh (hati nurani manusia).[18] Al Quran menganjurkan ilmu ini. Allah SWT berfirman dalam Q.S. Asy Syam : 9-10.
 ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ   ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢yŠ ÇÊÉÈ  
Artinya: “Beruntunglah orang yang mensucikan hatinya dan rugilah orang-orang yang mengotorinya.”[19] (Asy Syam: 9 - 10).

Ilmu tasawuf adalah salah satu ilmu dasar dalam Islam, selain dari Aqidah dan Syariat. Ilmu tasawuf/rohani adalah ilmu yang mempelajari perilaku tabiat roh atau hati baik yang baik (mahmudahnya) maupun buruk (mazmumah). Bukan untuk mengetahui hakikat zat roh itu sendiri. Hakikat roh itu sendiri tidak akan dapat dijangkau oleh mata kepala atau tidak akan dapat dibahaskan. Tetapi apa yang hendak dibahaskan adalah sifat-sifatnya sahaja supaya kita dapat mengenal sifat-sifat roh atau hati kita yang semula jadi itu. Mana-mana yang mahmudahnya (positif) hendak dipersuburkan dan dipertajamkan. Kita pertahankannya kerana itu adalah diperintah oleh syariat, diperintah oleh Allah dan Rasul dan digemari oleh manusia. Mana-mana yang mazmumahnya (negatif) hendaklah ditumpaskan kerana sifat-sifat negatif itu dimurkai oleh Allah dan Rasul serta juga dibenci oleh manusia.
Ilmu tasawuf sering disebut juga dengan ilmu batin, namun tidak sama dengan ilmu pengasih atau ilmu kebal. Orang yang belajar ilmu batin bermakna dia belajar ilmu kebal atau belajar ilmu pengasih. Sebenarnya orang itu belajar ilmu kebudayaan Melayu, yang mana ilmu itu ada dicampur dengan ayat-ayat Al Quran. Kebal juga adalah satu bagian dari kebudayaan orang Melayu yang sudah disandarkan dengan Islam. Kalau kita hendak mempelajarinya tidak salah jika tidak ada unsur-unsur syirik. Tetapi itu bukan ilmu tasawuf.[20]

F.   Tujuan tasawuf.
Tujuan tasawuf adalah “fana” untuk mencapai “ma’rifatullah” yaitu leburnya pribadi kepada kebaqaan Allah, dimana perasaan keinsanan lenyap diliputi rasa keTuhanan. Yang dimaksud “fana” di sini adalah seluruh makhluk hati, dunia dan diri sendiri hilang sama sekali dari ingatan hati, karena ia tenggelam dalam kenikmatan ingat kepada Allah semata. Sedangkan tujuan tasawuf lainnya adalah “insan kamil”, yaitu manusia utama atau manusia yang karena adanya realisasiwahdah asasi dengan Tuhan yang mengakibatkan adanya sifat-sifat dan keutamaan Tuhan padanya.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa ilmu tasawuf bertugas membahas soal-soal yang berkaitan dengan akhlak dan budi pekerti serta seluruh sifat yang berjalan dengan hati. Jadi sasaran tasawuf adalah akhlak dan budi perkerti yang baik berdasarkan kasih dan cinta kepada Allah. Karena itu, ajaran tasawuf sangat mengutamakan adab/nilai baik dalam berhubungan dengan manusia ataupun dengan Tuhan. Seorang sufi Al Junaid dalam kitab Al Hikam mengatakan bahwa perilaku sufi itu harus melakukan empat hal, yaitu:
1.    Ia harus mengenal Allah, sehingga ia seperti tidak ada jarak dengan Allah.
2.    Ia harus melakukan semua akhlak yang baik menurut ajaran Nabi Muhammad dan meninggalkan akhlak yang buruk.
3.     Ia harus bisa mengendalikan hawa nafsunya sesuai dengan ajaran Allah.
4.    Ia harus merasa tiada memiliki sesuatu apa pun dan juga merasa tidak dimiliki siapapun kecuali Allah.[21]




G. Tahapan-tahapan tasawuf
Sedangkan tahapan-tahapan tasawuf ada empat yang harus dilalui oleh hamba yang menekuni ajaran tasawuf untuk mencapai tujuan utama tasawuf, diantaranya:
1.    Syari’at yang meliputi perbuatan yang nyata dan tidak nyata (perbuatan hati). Sedangkan menurut Abu Bakar Ma’ruf mendifinisikannya sebagai segala macam perintah dan larangan Allah swt.
2.      Tarekat, yaitu jalan menuju kepada hakikat atau dengan kata lain pengamalan syari’at yang disebut sebagai “Al-Amal”.
3.    Hakikat, yang berarti kebenaran. Kalau dikatakan sebagai Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang mencari kebenaran. Hakikat yang didapatkan oleh sufi setelah lama menempuh tarekat, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang dihadapinya.
4.     Ma’rifat, yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan tasawuf maka istilah ma’rifat di sini berarti mengenal Allah ketika sufi mencapai suatu maqam dalam tasawuf.
Keempat tahapan yang harus dilalui oleh sufi ketika menekuni ajaran tasawuf harus dilalui secara berurutan tidak mungkin dilalui secara terbalik atau secara terputus-putus. Dengan cara menempuh tahapan tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan tidak pula mengalami kesesatan.[22]











BAB III
KESIMPULAN
Tasawuf adalah suatu cabang ilmu dalam islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dari islam. Spiritualitas ini mengambil bentuk yang beraneka di dalamnya. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan pada kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia serta lebih menekankan penafsiran batini ketimbang penafsiran lahiriah.
Tasawuf merupakan salah satu bidang studi islam yang memfokuskan pada dimensi esoterik, yaitu pembersihan aspek rohani manusia sehingga dapat menimbulkan akhlak mulia. Melalui studi tasawuf ini, seseorang dapat mengetahui tata cara melakukan pembersihan jiwa serta mengamalkan secara benar. Dari pengetahuan ini ia akan tampil sebagai seorang yang pandai dan terampil pada saat berinteraksi dengan orang lain atau saat melakukan aktifitas dunia yang menuntut kejujuran, keikhlasan dan tanggung jawab. Jadi sasaran tasawuf adalah akhlak dan budi perkerti yang baik berdasarkan kasih dan cinta kepada Allah. Karena itu, ajaran tasawuf sangat mengutamakan adab/nilai baik dalam berhubungan dengan manusia ataupun dengan Tuhan.
Keempat tahapan (syari’at, tarekat, hakikat dan ma’rifat) yang harus dilalui oleh sufi ketika menekuni ajaran tasawuf harus dilalui secara berurutan tidak mungkin dilalui secara terbalik atau secara terputus-putus. Dengan cara menempuh tahapan tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan tidak pula mengalami kesesatan.








14
 
 

DAFTAR PUSTAKA

Anwar,  Rosihon.  Akhlak Tasawuf,( Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009).

Damami,  MohammadTasawuf  Positif , (Yogyakarta Fajar Pustaka Baru2000).

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2005).

Kartanegara,  MulyadiMenyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta Penerbit Erlangga2006).

K. PermadiPengantar Ilmu Tasawuf(Jakarta PT Rineka Cipta2004).

MahjuddinKuliah Akhlak Tasawuf, (Jakarta Kalam Mulia1991).

M. Syatori. Tasawuf. (Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati Fakultas Ushuludin, 1991).

Nasution, Harun.  Falasafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).

http://id.wikipedia.org/wiki/Sufisme.


http://moethans.wordpress.com/2009/10/14/12/




15
 
 


[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Sufisme.
[2] http://moethans.wordpress.com/2009/10/14/12/
[3] Harun Nasution.  Falasafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),  h. 57.
[4] Rosihon Anwar.  Akhlak Tasawuf,( Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009), cet. 1,. h. 12-13.
[5] Harun Nasution. loc. cit.
[6] Rosihon Anwar. op. cit., h. 14.
[7] M. Syatori. Tasawuf. (Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati Fakultas Ushuludin, 1991), h. 2-5.
[8] Mulyadi KartanegaraMenyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta Penerbit Erlangga2006), h2.
[9] Rosihon Anwar. op. cit., h. 17.
[10]  Ibid, h. 20.
[12] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2005), cet. 10., h. 483.
[13]  Ibid, h. 540.
[14] Rosihon Anwar. op. cit., h. 21-28.
[15]  Harun Nasution. op. cit. h. 61.
[16] Rosihon Anwar. op. cit., h. 29-30.
[17] Mohammad DamamiTasawuf  Positif , (Yogyakarta Fajar Pustaka Baru2000), h. 218-223.
[19] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,, op. cit., h. 595
[21] K. PermadiPengantar Ilmu Tasawuf(Jakarta PT Rineka Cipta2004), h. 89.
[22] MahjuddinKuliah Akhlak Tasawuf, (Jakarta Kalam Mulia1991), h., 106-118.